Keindahan Banda Aceh

Keindahan Banda Aceh
Kantor Walikota Banda Aceh

Jumat, 28 Januari 2011

Korupsi Atas Bawah


KORUPSI ATAS BAWAH
Oleh: Masrizal, MA
Korupsi merupakan penyakit yang belum ada obatnya, sudah dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono memimpin bangsa ini, namun penyakit yang satu ini belum juga terselesaikan, hingga penyakit ini merambah ketingkat paling bawah.  Sejarawan Onghokham menyebutkan bahwa istilah korupsi ada ketika orang mulai melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Menurut Onghokham pemisahan keuangan tersebut tidak ada dalam konsep kekuasaan tradisional, tetapi ada ketika adanya sistem politik modern. Sejak abad ke-19 istilah penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi, dianggap sebagai tindak korupsi. Fenomena sosial yang satu ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Selanjutnya dalam disiplin Ilmu Kesejahetraan sosial, korupsi masuk keranah masalah sosial, karena korupsi tersebut merugikan banyak pihak.  Menurut Weinberg, masalah sosial adalah situasi yang dinyatakan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai oleh warga masyarakat yang cukup signifikan, dimana mereka sepakat dibutuhkannya suatu tindakan untuk mengubah situasi tersebut. Dari defenisi ini dapat kita pahami bahwa keberadaan masalah sosial dilihat sebagai konstruksi sosial dan perlunya ada pemecahan masalah. 
Penyebab datangnya korupsi ada dua, pertama karena kebutuhan (Need) dan kedua karena rakus (great).  Kasus yang menimpa Sekretaris desa dan aparatur lainnya di Lhokseumawe yang menggelapkan Raskin itu diakibatkan karena kebutuhan, sebab gaji yang diperoleh oleh pejabat pemerintah di kelas bawah ini sedikit dibandingkan dengan pejabat kelas atas. Bagi, pejabat kelas bawah seperti Sekretaris desa dan kawan-kawan, ternyata era Reformasi sepertinya tak mengubah nasib mereka menjadi lebih baik dan bahkan justru lebih buruk. Padahal, di mata mereka, mereka hanya ingin bisa menjalani hidup hari demi hari berkecukupan dan tidak perlu berlebihan, tetapi nafsulah yang merubah kehidupannya menjadi lebih buruk.
Sedangkan Korupsi disebabkan karena great, adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat kelas atas, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun yang sangat disayangkan adalah kedua pejabat ini bila dilihat jumlah dana yang dikorupsi lebih tinggi para pejabat kelas atas dibandingkan kelas bawah, tetapi yang cepat masuk ke sel tahanan, sebagian besar kelas bawah.  Dimana perbandingannya apabila korupsi dilakukan oleh kelas bawah hari ini tercium baunya maka besok langsung masuk sel tahanan (penjara), sedangkan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) butuh waktu yang lama untuk menyeret mereka ke penjara. Sungguh keadilan hukum di negeri ini hanya berpihak pada kelas atas dan menindas kelas bawah.
Jika ada pendapat mengatakan bahwa korupsi sudah mendarah daging dan mengakar dikehidupan sekeliling kita, sepertinya pendapat ini benar. Kenyataannya, korupsi itu memang ada di mana-mana tidak hanya di kelas atas tapi juga dikelas bawah.  Pasang surutnya pemberantasan korupsi di negara kita ini membuktikan telah memporak-porandakan sistem nilai yang ada. Menurut Transparency International mengeluarkan hasil survey bahwa Indonesia menempati urutan ke 6 terkorup didunia dari 158 negara. Hal ini membuktikan bahwa pemerintahan masih belum serius dalam pembarantasan korupsi. Komitmen pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi hanya sekedar merupakan retorika politik belaka. Kekuatan KPK (komite pemberantasan korupsi) dan Kejaksaan serta Kepolisian belum terbukti mampu membumi hanguskan korupsi, tetapi lembaga ini hanya mampu memberikan efek jera pada koruptor kelas teri tapi bukan koruptor kelas kakap.
Untuk mencegah korupsi kita perlu meniru ungkapan Zhu Rongji, ketika mu dilantik menjadi Perdana Menteri China pada tahun 1998, ia mengatakan "Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, satu buat saya sendiri seandainya saya melakukan korupsi". Mungkinkah kepemimpinan SBY- Budiono dan pembantunya (gubernur dan Bupati/walikota) di masing daerah mau melakukan hal yang sama dalam memberantas korupsi dengan ungkapan ala Zhu Rongji? Atau malah sebaliknya memperkuat para koruptor dimasing- masing daerah untuk terus menggelapkan uang negara.
Adanya pola tebang pilih dalam penegakan hukum merupakan bentuk pengkhianatan konstitusi dan pelanggaran HAM, yang bisa mengundang kekuatan jahat untuk menggencarkan tumbuh kembangnya korupsi di negara ini. Aparat penegak hukum memegang kunci utama yang menentukan arah dan warna penegakan hukum. Meski aparat penegak hukum menjadi kunci dalam penerapan hukum, secara umum rezim yang sedang berkuasalah yang bisa menciptakan atmosfer yang mendukung kinerja aparat ataukah tidak. Ketika rezim sekarang, misalnya, tidak mempunyai political will yang baik dan maksimal dalam penegakan hukum, yang diperoleh tidak merupakan hasil maksimal, dan bahkan boleh jadi sekedar mengisi ruang wacana yang seolah-olah pemerintah telah berbuat. Terbukti, tersangka korupsi tertentu masih mendapatkan perlakuan istimewa, sedangkan lainnya jadi korban ketajaman pedang hukum yang diayunkan aparat.
Implementasi sistem peradilan bisa membuat seseorang atau beberapa orang dikorbankan dan ditumbalkan secara mengenaskan. Mereka yang tidak berasal dari rezim yang berkuasa diposisikan tidak berdaya dan tidak punya nilai tawar saat berhadapan dengan peradilan. Dunia peradilan akhirnya tak ubahnya suatu ruang eksklusif bagi tiran-tiran baru yang merajalela dalam menentukan hitam putihnya norma hukum. Sampai dengan detik ini dunia peradilan masihlah jadi medannya para elit penguasa yang sangat lihai berkolaborasi dengan mesin-mesin politik tingkat tinggi, yang kesemua aksinya mengerucut pada pembenaran penyalahgunaan secara kolektif. Fenomena ini bisa kita saksikan melalui kasus gayus dan kasus century dan beberapa kasus lainnya yang dilakukan oleh elit politik modern dewasa ini.
Mengarah ke Aceh korupsi tahun 2010, berdasarkan hasil monitoring Masyarakat Transparancy Aceh (MaTa) bekerjasama dengan Indonesian Corruption Wattch (ICW) mengatakan ada 301,8 Milyar Rupiah yang dilakukan oleh pejabat kelas kakap yang sampai sekarang belum terungkap, (Harian Aceh, 05 Januari 2011). Namun korupsi yang dilakukan oleh kelas bawah, seperti kasus penggelapan dana raskin (beras miskin) yang menyeret Sekretaris desa dan kawan-kawannya membuktikan bahwa penyakit korupsi di negara ini hanya berlaku untuk kelas teri, (lihat Serambi Indonesia 12 Januari 2011).
Sehingga disinilah kita mencoba melihat sepak terjang Kapolda dan Kejaksaan yang baru-baru ini dilantik mampu memberantas korupsi di daerah Serambi Mekkah. Karena kedua lembaga ini memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyingkirkan para koruptor dari kursinya (jabatan) kejeruji besi (penjara) dengan tidak hanya menyeret korupsi kelas bawah alias kelas teri.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar