Keindahan Banda Aceh

Keindahan Banda Aceh
Kantor Walikota Banda Aceh

Selasa, 13 Desember 2011

Menyoal Korupsi PNS Muda

 
Belum lah hilang diingatan kita kasus gayus tambunan melakukan korupsi Milyaran Rupiah di negeri ini, kini datang berita baru lagi yang dirilis oleh Pusat Pelaporan Transaksi Analisis dan Keuangan (PPATK) Republik Indonesia yang menyatakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Golongan III-A, banyak menilap uang negara, alias korupsi hingga Milyaran Rupiah. Sungguh mengherankan kita semua apa yang melanda negeri tercinta ini.  Negeri yang dibangun susah payah oleh Funding father, kini telah dinodai oleh oknum PNS muda yang tidak bertanggung jawab.

Sebenarnya, penyebab datangnya korupsi ada dua, pertama karena kebutuhan (Need) dan kedua karena rakus. Kasus yang menimpa PNS muda yang dirilis PPATK diakibatkan karena kebutuhan semata, sebab gaji yang di kelas bawah ini lebih rendah dibandingkan dengan pejabat kelas atas. Bagi pejabat kelas bawah ternyata era Reformasi sepertinya tak mengubah nasib mereka menjadi lebih baik dan bahkan justru lebih buruk. Padahal mereka hanya ingin bisa menjalani hidup hari demi hari berkecukupan dan tidak perlu berlebihan, tetapi nafsulah yang merubah kehidupannya menjadi lebih buruk.
Sedangkan korupsi disebabkan karena rakus, adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat kelas atas, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pejabat kelas yang satu ini bila dilihat jumlah dana yang dikorupsi lebih tinggi nominalnya daripada pejabat kelas bawah. Perbandingan lainnya, apabila korupsi dilakukan oleh kelas bawah hari ini tercium baunya, besok langsung masuk sel tahanan (penjara), sedangkan korupsi yang dilakukan oleh pejabat kelas atas (eksekutif, legislatif dan yudikatif) butuh waktu yang lama untuk menyeret mereka ke penjara. Sungguh keadilan hukum di negeri ini hanya berpihak pada kelas atas dan menindas kelas bawah.
Adanya pola tebang pilih dalam penegakan hukum merupakan bentuk pengkhianatan konstitusi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang bisa mengundang kekuatan jahat untuk menggencarkan tumbuh kembangnya korupsi di negara ini. Aparat penegak hukum memegang kunci utama yang menentukan arah dan warna penegakan hukum. Meski aparat penegak hukum menjadi kunci dalam penerapan hukum, secara umum rezim yang sedang berkuasalah yang bisa menciptakan atmosfer yang mendukung kinerja aparat penegak hukum. Ketika rezim sekarang, misalnya, tidak mempunyai political will yang baik dan maksimal dalam penegakan hukum, maka hasil yang diperoleh tidak akan maksimal, dan bahkan boleh jadi sekedar mengisi ruang wacana yang seolah-olah pemerintah telah berbuat.
Implementasi sistem peradilan bisa membuat seseorang atau beberapa orang dikorbankan dan ditumbalkan secara mengenaskan. Mereka yang tidak berasal dari rezim yang berkuasa diposisikan tidak berdaya dan tidak punya nilai tawar saat berhadapan dengan peradilan. Dunia peradilan akhirnya tak ubahnya suatu ruang eksklusif bagi tiran-tiran baru yang merajalela dalam menentukan hitam putihnya norma hukum. Sampai dengan detik ini dunia peradilan masihlah jadi medannya para elit penguasa yang sangat lihai berkolaborasi dengan mesin-mesin politik tingkat tinggi, yang kesemua aksinya mengerucut pada pembenaran penyalahgunaan secara kolektif. Fenomena ini bisa kita saksikan melalui kasus gayus dan kasus century dan beberapa kasus lainnya yang dilakukan oleh elit politik modern dewasa ini.
Padahal Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum yang sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, hingga mau berakhirnya 2011, menuju 2012 sekarang tidak banyak yang dapat diperbuat decesion makers dalam menanganinya, berbagai macam persoalan kasus korupsi yang dihadapi tapi tidak mendapatkan jawaban, begitu juga legislatif yang terhormat yang menjadi wakil rakyat diparlemen juga tidak dapat berbuat banyak, dikarenakan alasan kekuasaan atau masuk dalam sebuah koalisi jadi tidak boleh berkotek. Ibarat seekor Singa apabila sudah bergabung dengan sekumpulan Harimau maka sisinga yang dikenal ganas hanya bisa mangut-mangut, walaupun hati kecilnya tidak menerima kebijakan yang diambil oleh si Harimau.
Dalam kondisi semacam ini yang harus kita bangunkan adalah mata penegak hukum, akankah korupsi ini selalu menciderai kelas bawah, bukankah hukum itu berlaku adil? disinilah kita melihat sepak terjang KPK yang baru, yang diketuai oleh Abraham Samad dan kawan-kawan mampukah mengembalikan citra bangsa di mata publik, begitu juga institusi Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi,  karena ketiga lembaga ini memiliki tanggung jawab yang besar dalam menyingkirkan para koruptor dari kursinya (jabatan) kejeruji besi (penjara) dengan tidak hanya menyeret korupsi kelas bawah alias kelas teri. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar