Keindahan Banda Aceh

Keindahan Banda Aceh
Kantor Walikota Banda Aceh

Senin, 18 Juli 2011

Dilema Kebijakan Sosial

Serambi Indonesia


Membaca Serambi Indonesia (01/07/2011) dengan judul  Pasien Jamkesmas Dikutip Rp 2 Juta Untuk Biaya Bersalin ternyata telah membuktikan bahwa jargon yang di usung oleh Pemerintah Aceh dalam konteks kesehatan masih menyita berbagai persolan di daerah. Nasib malang menimpa keluarga Rosdiana yang melakukan persalinan di Puskesmas pembantu (Pustu) di Kecamatan Simpang Keuramat, Aceh Utara harus membayar mahal. Kendati Ia dan keluarganya mengetahui bahwa masyarakat di Aceh pada umumnya bisa berobat gratis melalui program Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).

Peristiwa di atas merupakan salah satu dari sekian fenomena kesehatan yang terjadi pasca digulirkanan kesehatan gratis oleh Pemerintah Aceh, tapi banyak peristiwa lainnya yang mungkin belum terpublikasi. Padahal ini adalah bagian dari kebijakan sosial dalam konteks kesehatan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan. Tujuan kebijakan sosial pada dasarnya adalah meningkatkan kondisi masyarakat yang lebih baik (well being), dan menjamin akses masyarakat marjinal terhadap pelayanan sosial. Kebijakan sosial yang ditujukan untuk membangun kesejahteraan sosial masyarakat, seringkali dihadapkan kepada dilema etis. Salah satu dilema, muncul ketika distribusi kesejahteraan harus dilakukan secara luas, padahal sumber yang tersedia sangat terbatas. Kesejahteraan tidak didistribusikan secara merata berarti melanggar kewajiban, sebaliknya mendistribusikan kesejahteraan secara merata tidak bisa dilakukan secara maksimal karena adanya sumber yang terbatas.
Menghadapi Dilema
Dilema keadilan seperti yang terjadi di atas tentu sebagai kondisi yang tidak menguntungkan. Alih-alih kesejahteraan dapat didistribusikan secara merata dan adil. Namun demikian, tampaknya cukup menarik untuk mengungkap suatu strategi bagaimana menghadapi dilema keadilan terutama dalam konteks yang ditunjukkan dalam kasus di atas. Beberapa filosof mempunyai pemikiran tentang apa yang disebut distributive justice (keadilan distributif). Menurut Miftachul Huda (2009), adanya sumber kesejahteraan yang terbatas pada dasarnya dapat didistribusikan berdasarkan empat kriteria, yakni persamaan (equality), kebutuhan (need), kompensasi, dan kontribusi.
Pertama, kesejahteraan didistribusikan secara merata kepada siapa saja karena setiap orang pada dasarnya mempunyai hak yang sama untuk hidup sejahtera. Terkait hal ini, John Rawls (1971:302) dalam karyanya yang termasyhur, A Theory of Justice mengungkapkan setiap orang memiliki hak yang sama untuk dapat hidup sejahtera. Sehingga kesenjangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa untuk kesejahteraan seluas-luasnya dari kelompok masyarakat yang kurang beruntung (disadvantage groups). Dengan demikian, menurut Rawls pemerintah harus berperan secara adil mendistribusikan kesejahteraan secara merata ke seluruh warga negara karena kesejahteraan pada dasarnya adalah hak bagi setiap orang.
Ketika sumber yang tersedia terbatas, namun harus didistribusikan secara merata tentu mempunyai konsekuensi sumber yang terbagi tidak dalam jumlah yang proporsional. Seharusnya suatu kelompok masyarakat bisa memperoleh bantuan besar, namun karena dibagikan secara merata masing-masing hanya memperoleh sedikit bagian. Cara seperti ini sering diterapkan di Indonesia seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dibagi-bagi secara merata dengan jumlah yang lebih sedikit sehingga orang miskin yang tidak termasuk dalam daftar penerima ikut menerima, begitu juga dengan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
Kedua, distribusi sumber yang terbatas dapat juga didasarkan kepada tingkatan prioritas kebutuhan masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendesak dan primer lebih didahulukan daripada kebutuhan yang kurang mendesak dan bersifat skunder. Pemerintah ada baiknya membuat ukuran, mana kebutuhan yang dinilai lebih mendesak dan mana yang tidak ketika menerapkan kebijakan sosial dengan sumber yang terbatas. Misalnya, pembangunan gedung sekolah yang roboh lebih didahulukan daripada menghabiskan anggaran untuk belanja kebutuhan peralatan kantor.
Pemangkasan anggaran di departeman-departeman yang dinilai kurang penting dan tidak mendesak sehingga bisa ditunda pada dasarnya dapat dilakukan pemerintah sehingga kebijakan-kebijakan sosial yang sifatnya lebih mendesak seperti bidang pendidikan dan kesehatan dapat didahulukan.
Ketiga, adanya sumber yang terbatas dapat dinyatakan adil ketika sistem distribusi berdasarkan kepada skema kompensasi. Kesejahteraan lebih diutamakan didistribusikan kepada kelompok-kelompok masyarakat minoritas yang selama ini menjadi korban penindasan dan ketidakadilan sosial dibandingkan kelompok yang lain. Kelompok masyarakat yang kurang beruntung ini menjadi prioritas dari penerima program kesejahteraan sosial. Misalnya, orang miskin di pedesaan, para pengamen, gelandangan, dan lain sebagainya.
Terakhir, kesejahteraan dari sumber yang terbatas dapat juga didistribusikan berdasarkan skema kontribusi. Sumber kesejahteraan yang terbatas pada prinsipnya dapat diperoleh oleh siapa saja tetapi bagi yang mampu membayarnya. Sistem seperti ini tentu sangat cocok diterapkan dalam konteks masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi cukup memadai. Skema kontribusi dijadikan sebagai salah satu tolak ukur keadilan dalam mendistribusikan sumber yang terbatas.
Dengan demikian, yang disebut adil pada dasarnya tidak selamanya semua orang memperoleh bantuan. Sebab, keadilan pendistribusian sumber yang terbatas dapat ditentukan secara sah berdasarkan empat kriteria yang dijelaskan di atas. Kalaulah salah satu kriteria di atas tidak diterapkan, maka jangan harap dilema kebijakan sosial akan teratasi.*

Penulis: Dosen FISIP Unsyiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar