PENDAHULUAN
Kekhawatiran terhadap semakin
merenggangnya hubungan antar
manusia, dan melemahnya ketidakpedulian
dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat akan berdampak
negatif terhadap pertumbuhan
masyarakat. Oleh karena itu apabila
penguatan modal sosial tidak
ditumbuhkan dalam masyarakat, maka
kekerabatan dan kerjasama tidak
akan terbentuk dan pertumbuhan
masyarakat akan semakin lamban, dan
bisa saja modal sosial akan
menghilang. Fenomena ini tidak hanya
dampaknya dirasakan oleh negara dan
masyarakat sekarang, tetapi juga
generasi seterusnya akan berakibat
tidak baik, sehingga generasi
kedepan akan berdampak buruk tidak
hanya untuk individunya, tetapi juga
berdampak terhadap negara.
Dalam masyarakat yang amat plural akan
seringkali muncul
perbedaan pendapat, gesekan antara
berbagai kelompok, benturan
kepentingan, bahkan konflik-konflik
sosial, baik yang berskala kecil
maupun besar. Seperti halnya dinamika
politik pasca penolakan hak
angket mafia pajak yang mengakibatkan
gesekan antar partai politik, dan
kasus Ahmadiyah yang menyebabkan
korban jiwa, serta kasus-kasus
lainnya yang menimpa negara sekarang ini.
Kemampuan manajemen bagi
konflik-konflik ini teramat penting.
Oleh karena itu, lembaga-lembaga
sosial dan politik serta pranatapranatanya
harus mampu bukan sekedar meredam,
tetapi menyalurkan
dinamika yang lahir akibat perbedaan
tersebut sehingga dari pergesekanJurnal
Fukuyama melihat terjadinya transisi
masyarakat industri menuju
masyarakat informasi telah semakin
memperenggang ikatan sosial, dan
melahirkan banyaknya patologi sosial
seperti meningkatnya angka
kejahatan, dan menurunnya kepercayaan
pada sesama komponen
masyarakat. Dalam era reformasi
ditandai dengan semakin berkurangnya
kontak berhadapan muka (face to
face relationship), modal sosial sebagai
bagian dari modal maya (virtual
capital) akan semakin menonjol
peranannya. Karenanya, upaya membangun
sebuah bangsa dan negara
yang kompetitif peranan modal sosial
semakin penting untuk kesuksesan
masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat
dewasa ini ternyata belum
mampu mensejahterakan rakyat. Sebagai
mana dirilis BPS tahun 2010,
Badan Pusat Statistik telah
mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia terakhir ini meningkat.
Sebut saja pertumbuhan ekonomi tahun
2010 sebesar 6,1 persen. Akan tetapi
beberapa daerah di Indonesia, daya
beli masyarakat masih rendah, sehingga
kemiskinan akan sulit teratasi.
Namun kesulitan itu sebetulnya akan
terasa ringan, bahkan kemungkinan
dapat dielakkan, manakala modal sosial
kita sebagai warga negara dapat
dikuatkan. Sehingga Fukuyama
menjelaskan bahwa kegagalan
pembangunan ekonomi yang terjadi di
berbagai belahan bumi, terutama di
negara-negara berkembang Asia, Afrika,
dan Amerika Latin, determinan
utamanya adalah tidak berfungsinya
komponen-komponen modal sosial
yang idealnya tumbuh di tengah
masyarakat sebagai penopang kekuatan.
Untuk itulah modal sosial ini harus
terus dijaga, agar berbagai macam
apapun krisis akan bisa kita hadapi.
Indikator dalam kekuatan pertumbuhan
dalam kehidupan
masyarakat ada tiga aspek yang perlu
dibangun dalam meningkatkan
pendapatan dan mengurangi pengeluaran
masyarakat. Pertama,
peningkatan kapasitas dan sumberdaya
manusia. Kedua, peningkatan
perluasan dan kesempatan kerja. Ketiga,
tersedianya perlindungan sosial.
letaknya desentralisasi ini sudah
memudahkan perjalanan kearah
perubahan, dimana dulunya tertumpu
pada satu sentral tapi sekarang
kepercayaan tersebut sudah diserahkan
ke daerah.
Menurut Ilham Cendikiawan, dalam
tulisannya Tantangan
Pemenuhan Hak Ekonomi
Sosial Budaya Dalam Era Desentralisasi,
mangatakan bahwa daerah memiliki
keleluasaan dalam menentukan
belanja daerah karena perpindahan
wewenang dari pusat ke daerah.
Pemahaman ini menjelaskan bahwa perspektif
demokratisasi otonomi
daerah adalah pilihan sistem
pemerintahan yang sangat baik, karena
dalam sistem tersebut penentuan
keputusan berada pada level terbawah.
Dengan demikian akses masyarakat untuk
mengawasi dan berpartisipasi
dalam kebijakan publik sangat terbuka.
Filosofisnya adalah
penyelenggaraan otonomi daerah adalah
untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan
perluasan partisipasi aktif warga.
Mencermati ini juga salah seorang
akademisi, Profesor Edi Suharto
(2007), yang sering bergelut dengan
dunia kesejahteraan dan sering
mengisi perjalanannya kenegara
kesejahteraan seperti swedia dan
beberapa negara dibagian eropa lainnya
beliau melabelkan negara tanah
kelahirannya ini dengan negara yang
secara dejure menganut welfara
state tapi secara praktis
menganut fragmanted. Ia menjelaskan bahwa
pelembagaan sistem negara
kesejahteraan pada tingkat pemerintah
daerah melalui desentarlisasi dan
otonomi daerah salah satu ide dalam
membangun negara kesejahteraan pada
tingkat provinsi dengan
melembagakan sistem provinsi
kesejahteraan.
Kebijakan pemerintah selama ini hanya
bersifat pragmanted,
namun jika kita merujuk kembali ke
Undang-undang Dasar Tahun 1945
Pasal 27, 33, dan 34 sangat bermakna welfare
state tapi realitasnya
hanya tertuang saja dalam UUD 45.
memang jika kita kembali mengkaji
kondisi negara memang sudah krisis
kader bangsa yang nasionalis.
nanti akan terwujud penuh pada tahun
2020 dimana kedepan liberalisasi
ekonomi akan mempunyai arti
liberalisasi budaya, karena kebanyakan
orang menganggap kebudayaan barat itu
universal dan bukan unik,
sehingga nanti westernisasi akan kuat.
Kalau sebagai bangsa kita
sekarang tidak sadar akan kepribadian,
lama-lama orang Indonesia akan
menjadi terasa asing ditanah
kelahiranya sendiri.
Berbicara tentang penanganan untuk
masalah bangsa sekarang
adalah tak luput dari krisisnya kader,
maka kita juga harus melihat kembali
sumberdaya manusia (SDM) yang ada.
Apakah negara kita ini sudah
banyak melahirkan orang-orang yang
terampil? Namun jika kita
membicarakan seputar SDM bangsa
sekarang kayaknya kita kurang
berani mengatakan bahwa SDM bangsa
Indonesia itu lemah, karena hal
ini dibuktikan dengan ungkapan Prof.
Tajudin Noer Effendi, mengatakan
bahwa negara tetangga kita Malaysia
ketika dahulu dalam hal pendidikan
berkiblat ke Indonesia, dan bahkan
yang ikut mendirikan Univesitas
Kebanggsaan Malaysia (UKM) juga
tokoh-tokoh akademisi dari Indonesia,
khususnya akademisi dari Universitas
Gadjah Mada (UGM). Mencermati
ungkapan itu bahwa sebetulnya
Indonesia dari segi SDM sudah
mampulah dibandingkan dengan
negara-negara tetangga yang baru
merdeka. Karena jika kita kembali
sadar bahwa umur negara kita ini
sudah melebihi setengah abad
merdekanya yakni 63 tahun, tapi kita
kurang menyadari hal itu semua.
Kader bangsa sekarang lebih memilih
hidup seperti budaya hidup
di kota. Dimana karakter hidup
dipermukiman di kota besar adalah
mempunyai “budaya nafsi-nafsi” dengan
tanpa melihat kondisi tetangga
disampingya yang kelaparan. Jika kita
melihat budaya di pedesaan yang
penuh dengan suasana kehidupan modal
sosial yang tinggi dan sikap
yang ramah dan santun. Hal ini menurut
penulis tak terlepas dari sistem
yang dibangun sekarang yakni sistem capitalism.
Sebenarnya sistem kita
di Indonesia ini harus menganut sistem
kedaulatan rakyat karena merujuk
kepada mayoritas penduduknya adalah
islam. Sistem kedaulatan rakyat
masyarakat yang sebelumnya illfare (tidak
sejahtera) akan menuju welfare
(sejahtera) dan negara akan dianggap
berhasil dalam membangun
pemabngunan ekonomi dan pembangunan
sosial.
Menurut Mansour Fakih (2006), dalam
penanggulan kemiskinan
dan pengangguran dalam menunjang
pertumbuhan ekonomi maka kita
mencoba mengikuti sistem pertumbuhan
yang dianut oleh Taiwan dan
Korea, dimana mereka menggunakan model
kebijakan campuran. Dengan
mempercepat pertumbuhan GNP (gross
national product), datangkan
multinasioanl dan agribisnis,
perbanyak promosi ekspor dan yang penting
dapatkan harga yang tepat, termasuk
menekan upah buruh, menaikkan
biaya modal, serahkan nilai tukar
kepada pasar dan menaikkan harga
pertanian. Pemahaman Mansur Fakih
menyerahkan kepada pasar segala
promosi ekspor adalah pasar yang
menguntungkan negara dan
masyarakatnya bukan pasar yang pro
privasi tapi pasar yang pro poor and
pro state dalam menunjang
pembangunan bangsa.
Menurut Michael Yoeh (1995) dalam
Sudjatmo (2004), mengatakan
bahwa ia menyarankan dalam mewujudkan
perubahan maka harus The
best way to predict
the future is create the future, dengan kata lain suatu
institusi/ daerah hanya akan
mempartahankan diri mereka sendiri. Dalam
kaitan ini jelas diperlukan paradigma
dala proses pembangunan baikkah
baik tingkat nasional maupun daerah.
Karena tujuan kita adalah agar
perubahan yang dilkukan hendaklah
mengarah pada upaya untuk
memamfaatkan peluang dan
mengantisipasi tantangan yang ada seiring
dengan perubahn tersebut. Metode ini
menjelaskan bahwa untuk
menanggulangi liberalisasi ekonomi,
penciptaan lapangan kerja dan
mengentaskan kemiskinan dan juga
segala maslah laennya, yang pada
pada akhirnya kita harus ammpu
meningkatakan kesejahteraan
masyarakat dengan membuat stake
holder (masyarakat, negara dan
swasta) berjalan dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahren Yustika, 2003, Negara Vs Kaum
Miskin, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Edi Suharto, 2007, Beberapa
Pemikiran Tentang Pembangunan
Kesejahteraan Sosial, UMM Press, Malang
Ilham Cendikia Srimarga, Pengantar
Ekonomi Hak Ekonomi Sosial Dan
Budaya, PATTIRO, Jakarta
Mansoer Fakih, 2006, Runtuhnya Teori
Pembangunan Dan Globalisasi,
Pustaka pelajar, Yogyakarta
Kuntowijoyo, Kerangka Analisis
Sosial Dan Historis, Buletin Suara
Muhammadiyah Nomor 4 Tahun 1982,
Yogyakarta
Robertz M. Z. Lawang, 1986, Teori
Sosiologi Klasik Dan Modern,
Gramedia, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar