Keindahan Banda Aceh

Keindahan Banda Aceh
Kantor Walikota Banda Aceh

Senin, 18 Juli 2011

Saatnya Model Kesejahteraan Sosial

Saatnya Model Kesejahteraan Sosial

Waspada, !6 Mei 2011


            Kisruh yang terjadi pada saat memperingati hari buruh sedunia pada tanggal 1 Mei 2011 yang lalu telah membuktikan kepada kita semua bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang belum sepenuhnya menjalankan program jaminan sosial.  Hal ini bisa kita saksikan diberbagai media cetak dan media elektronik. Seperti halnya Peringatan  Hari Buruh Sedunia yang dilakukan ratusan ribu massa buruh, petani, nelayan, mahasiswa, dan kaum miskin kota, yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). 
Secara serentak aksi itu dilakukan di berbagai provinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Jogja, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan daerah lain yang ada di Indonesia) mereka mendesak DPR dan Pemerintah segera mengesahkan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang merupakan aturan lanjutan dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), 
Selanjutnya  Mukhyir Hasibuan, Ketua Umum Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DP K-SPSI) Sumatera Utara, mengatakan bahwa Jika upah yang diterima karyawan tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari baik sandang maupun papan apalagi pemenuhan pendidikan, lanjutnya, pasti karyawan akan mencari upah atau uang masuk sampingan (http://waspadamedan.com,12/05/2011). Hal ini membuktikan bahwa kesejahteraan buruh masih diabaikan oleh pihak pengguna jasa buruh, padahal Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional di negara ini telah disahkan.
Ketika berbicara jaminan sosial erat kaitannya dengan kesejahteraan sosial, karena Jaminan sosial bagian dari kesejahteraan sosial. Untuk di era sekarang, sering timbul pertanyaan siapa yang bertanggung jawab, dan kapan dijalankan model sistem kesejahteraan sosial?. Pertanyaan ini sering muncul ke permukaan karena memang format penanganan masalah kesejahteraan di berbagai dunia sangat bervariasi. Jika dikaitkan dengan model sistem kesejahteraan sosial di berbagai negara di dunia, sedikitnya kita mengenal empat model sistem (yang didasarkan pada alokasi anggaran) untuk kesejahteraan sosial, yakni:
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara. Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Ketiga, model residual yang dianut oleh Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial kepada swasta. 
Terakhir, model minimal yang dianut oleh negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilangka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Dengan catatan, kecilnya anggaran kesejahteraan sosial untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan nampaknya terkait erat dengan keterbatasan anggaran negara secara keseluruhan.  Dari ke empat model kesejahteraan sosial di atas hendaknya bisa kita jadikan acuan dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sekarang bukan saatnya lagi kita mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok, tetapi harus memikirkan nasib rakyat keseluruhan.
Sungguh tidak bisa dibayangkan jika founding fathers negara kita melihat keadaan negara yang dulu mereka perjuangkan dengan susah payah, kini telah disia-siakan. Sungguh ironis sekali hidup mereka, sebuah ideologi yang nyaris sempurna diinjak-injak oleh mereka yang tidak berkepentingan.  Pancasila dan Undang-Undang 1945, yang dirumuskan dengan susah payah oleh pendahulu negara ini hanyalah tinggal wacana. Setiap bunyi dari silanya hanyalah tinggal wacana semata. Padahal telah jelas disebutkan dalam UU. 45  dalam pasal 27, 33, dan 34, yang berhubungan dengan prinsip keadilan sosial dalam mensejahterakan rakyat.
Prinsip keadilan sosial di Indonesia terletak pada usaha secara bersama seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Sehingga tidak ada yang paling utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan sosial adalah tanggung jawab pemerintah, juga masyarakat, dunia usaha dan komponen lainnya. Konsekuensinya harus terjadi saling sinergi dalam penanganan masalah sosial antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha bahkan khususnya perguruan tinggi sebagai pencetak kader bangsa.
Indonesia telah memasuki pembangunan jangka panjang tahap kedua (PJPT-II), dan akan memasuki era globalisasi pada tahun 2020 mendatang. Strategi yang digunakan perlu mendapat perhatian dalam menghadapi era globalisasi ini meliputi dua dimensi, yaitu eksternal dan internal. Ditinjau dari aspek eksternal, kita harus mampu berpartisipasi dengan memanfaatkan peluang-peluang yang ada sehingga dapat memasuki medan global itu sendiri. sedangkan ditinjau dari aspek internal, kita harus mempersiapkan diri untuk mengantisipasi dan mengambil manfaat yang sebesar-besarnya seiring dengan masuknya kekuatan-kekuatan global kedalam kehidupan kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan. Hal-hal yang perlu kita perhatikan adalah harus menghadapi globalisasi tersebut secara bersama, dan bersatu dengan semangat solidaritas.  
Dalam konteks ini kita harus melihat dua sasaran yang hendak dicapai dan saling terkait, yaitu yang kuat harus berusaha untuk dapat memasuki medan global dengan memperbesarkan kekuatan dan meningkatkan kemampuannya. Sedangkan yang lemah dan masih tertinggal harus diperbesar keberdayaannya. Dengan demikian, timbul keterkaitan struktural-fungsional-strategis antara upaya progresif  untuk dapat memasuki era pertumbuhan global, dan upaya menjamin kelangsungan hidup bagi lapisan masyarakat lemah. Begitu juga dengan perguruan tinggi (PT) harus menyiapkan sumber daya manusia, bagaimana kita harapkan perguruan tinggi di Indonesia harus adanya kerjasama dengan pemerintah dan legislatif sebagai lembaga yang mengontrol kinerja pemerintah bisa menjalankan fungsi dan perannya dengan baik. Sehingga kesejahteraan sosial akan terwujud di Indonesia, dan dalam menanganinya selalu bersama (antar stakeholder) saling bersinergi. Semoga!*
     
Penulis: Masrizal, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar